Cybercrime merupakan sebuah fenomena kejahatan yang sangat merugikan sehingga pelaku kejahatannyapun harus dihukum sesuai kadar kejahatannya.Negara Indonesia adalah Negara hukum sehingga dalam menangani suatu tindak kejahatan tidak terkecuali cybercrime itu sendiri maka pemerintah membuat sebuah undang-undang yang mengatur hukuman apa yang pantas untuk para pelaku cybercrime ini.Sehingga dengan adanya penanganan yang tepat terhadap setiap kasus cybercrime diharapkan dapat menghilangkan atau paling tidak meminimalkan kasus-kasus cybercrime di negeri Indonesia tercinta ini.
Undang-undang yang
diharapkan adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta
antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan
Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti
kerugian materi dan non materi.Indonesia memiliki beberapa hukum positif
yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime
terutama untuk kasus kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana.
Dengan diterapkannya
undang-undang ini secara maksimal tentunya pelaku-pelaku cybercrime akan
berfikir dua kali untuk melakukan kejahatannya mengingat sanksi yang diberikan tidak
bisa dianggap ringan.Sanksi yang diberikan memanglah sepadan dengan apa yang
dilakukan para pelaku cybercrime mengingat kerugian yang ditimbulkanpun
berdampak besar bagi sang korban.Berikut ini adalah beberapa undang-undang yang
relevan dengan kasus-kasus berbagai kejahatan di di dunia maya.
a. Kitab
Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani
kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan
persamaaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya
digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus
pasal – pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :
- Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
- Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
- Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
- Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
- Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
- Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
- Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa.
- Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian
- Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
b. Undang-Undang
No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Menurut Pasal 1 angka (8)
Undang – Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah
sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun
bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam
merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku
selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal
bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para
pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga
yang sangat murah.
Misalnya, program anti virus
seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga
sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan
yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp
5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan
“dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan
program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
c. Undang-Undang
No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1)
Undang – Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio,
atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan
segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi
karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar,
suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet
yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan
menggunakan Undang- Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem
jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
- Akses ke jaringan telekomunikasi
- Akses ke jasa telekomunikasi
- Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila anda melakukan hal
tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat
dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah)”
d.
Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen
Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan
media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat
pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau
ditransformasikan. Misalnya Compact Disk – Read Only Memory (CD – ROM), dan
Write – Once -Read – Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang
tersebut sebagai alat bukti yang sah.
e. Undang-Undang
No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan
Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan
informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena
tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab
penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian
uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang
menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki
oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam
Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data
perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik
membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah
engirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank
Indonesia.
Prosedur tersebut memakan
waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan.
Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda
cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut
dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan
informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses
penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank,
berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan
dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku
berdasarkan data– data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat
bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu
alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
f. Undang-Undang
No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25
Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai
dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah
berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara
para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan
dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau
menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan
terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone.
Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room selain mencari
informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui
bulletin board atau mailing list.
g. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik
Undang-undang ini, yang
telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, diharapkan dapat
menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku
cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi
masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.
Dengan adanya undang-undang
diatas merupakan suatu bukti keseriuasan pemerintah dalam menanggulangi kasus
cybercrime.Sehingga kasus-kasus cybercrime di Indonesia dapat di tangani dengan
baik yang pada akhirnya akan menimbulkan kedamaian di dunia maya dan pandangan
positif akan diberikan dunia kepada Negara kita tercinta.